Selamat Datang di Malas Nulis

Aloon-aloon Ponorogo: Ngopi 5000, Pengamen 25000

Mewakili kegelisahan orang-orang yang ngopi dipinggiran aloon-aloon Ponorogo. Ngopi 5000, untuk pengamen bisa 25000

Sore di Aloon-aloon Ponorogo selalu menjanjikan satu hal: ketenangan semu. Angin sepoi-sepoi, kursi plastik miring tiga derajat, dan kopi hitam lima ribuan yang lebih banyak ampas daripada bijak.

Tapi tunggu sebentar. Sebelum kamu sempat mengaduk kopi, suara fals bersenar dua tiba-tiba menyambar dari belakang, semacam ini:

“Assalamualaikum, maaf ganggu, satu lagu dulu ya...”

Tiba-tiba suasana yang tenang berubah jadi gig economy skala mikro: kamu tak minta hiburan, tapi kamu harus bayar. Kamu tak undang musik, tapi kamu tak tega menolak memberikan meski seribu rupiah.

Di alun-alun ini, kopi lima ribuan itu hanya semacam tiket masuk ke parade suara. Kalau kamu duduk satu jam, siap-siap: biaya ngamen bisa ngalahke harga langganan Spotify.

Nada yang Tak Pernah Selesai

Fenomena pengamen di Aloon-aloon bukan hal baru. Tapi belakangan, intensitasnya seperti kampanye caleg: penuh semangat, bertubi-tubi, dan sering membuat pengunjung ingin pindah tempat.

Dalam tiga puluh menit, bisa datang empat hingga lima kelompok pengamen. Kadang sendirian, kadang berdua, kadang bawa gitar bolong, kadang bawa mini sound system. Lagu yang dibawakan? Kadang lagu cinta, kadang lagu Tuhan, tapi hasilnya sama: bikin bingung harus bilang amin atau maaf.

Yang bikin lucu (atau tragis), kadang sebelum satu lagu selesai, datang pengamen lain menunggu giliran seperti antre minyak goreng. Di alun-alun ini, suara jadi rebutan. Dan pengunjung jadi ATM yang terus-menerus ditepuk bahunya.

Antara Empati dan Eksploitasi

Sialnya, semua ini dibungkus dalam narasi empati. Kalau kamu tak memberi, kamu dianggap pelit. Kalau kamu menolak, kamu dianggap tak punya hati.

Tapi mari jujur: Apakah empati harus dibayar setiap lima menit? Apakah ruang publik harus selalu menjadi ladang pertunjukan dadakan? Dan lebih jauh lagi—di mana batas antara solidaritas dan pemerasan halus?

Kita datang untuk santai, mereka datang untuk bekerja. Tapi pekerjaan mereka mengganggu kenyamanan orang lain—dan tidak ada yang mau menertibkan. Karena pengatur ketertiban sedang sibuk selfie di acara lain.

"The good is no longer the enemy of the best, but of the tolerable."
— Ivan Illich
(Yang baik kini bukan lagi musuh dari yang terbaik, tapi justru musuh dari yang bisa ditoleransi.)

Kalau Hidup Ini Pentas...

Fenomena ini bukan soal pengamen semata. Ini adalah cermin dari bagaimana negara memperlakukan ruang publik. Aloon-aloon itu bukan hanya taman kota. Ia adalah simbol demokrasi mikro. Tempat semua golongan duduk setara. Tapi ketika tidak ada regulasi, yang kuat (atau yang berani menyuarakan) akan menguasai ruang.

Pengamen tidak salah. Mereka juga mencari hidup. Tapi ketika semua orang berjualan suara tanpa aturan, yang dibeli bukan lagi hiburan—yang terampas adalah ketenangan.

“Kalau hidup ini pentas, tolong atur jadwal pemainnya. Penonton juga perlu bernapas.”

Ekonomi Goyang, Ruang Publik Berguncang

Fenomena pengamen dadakan ini juga menyentil kondisi ekonomi kita. Kota-kota kecil seperti Ponorogo sedang mengalami ledakan sektor informal. Ketika lapangan kerja terbatas, siapa pun bisa jadi pedagang. Atau pengamen. Atau seleb TikTok yang sedang live sambil nyanyi dengan nada D minor tanpa alasan.

Ruang publik pun menjadi pasar bebas. Tapi tanpa regulasi, yang terjadi adalah perebutan. Yang kalah adalah mereka yang tak punya suara—atau hanya ingin tenang sebentar saja.

Dan seperti biasa: pemerintah lebih cepat membangun panggung daripada menyusun peraturan.

Kalau Boleh Usul...

Tidak semua hal butuh undang-undang. Kadang cukup dengan zona. Cukup dengan rotasi. Cukup dengan kesadaran.

  • Ada area khusus untuk pengamen (tidak menyasar warung langsung).
  • Ada sistem antrean yang diatur komunitas seni lokal.
  • Ada pelatihan vokal gratis dari pemerintah (biar fals-nya minimal).
  • Ada tempat duduk pengunjung yang bebas dari kewajiban donasi musiman.

Ruang publik bukan tempat larangan ekspresi. Tapi ia butuh batas, bukan untuk mengekang, tapi untuk membuat semua merasa punya tempat.

Penutup: Kopi yang Dingin dan Suara yang Tak Dikenang

Kita tidak sedang anti pengamen. Kita hanya ingin: ketika kita memesan kopi lima ribuan, kita tidak harus membayar ketenangan dengan suara yang datang silih berganti tanpa henti.

Kadang, rakyat kecil ingin hal sederhana: minum kopi hangat, obrolan ringan, dan sore yang diam. Tanpa harus memikirkan lagu ketiga dari penyanyi kelima.

Karena di negeri ini, mungkin hanya aloon-aloon yang masih gratis. Tapi rupanya... itu pun harus dibayar diam-diam.