Review Materi Pasca Ngopi; Jathil Bukan Objek Pelampiasan Nafsu Bejat
Belakangan ini, media sosial dan beberapa portal berita ramai membahas dugaan pelecehan terhadap seorang penari jathil dalam pertunjukan reyog. Peristiwa ini memicu reaksi beragam: sebagian masyarakat mengecam tindakan pelecehan, sementara sebagian lainnya justru membela pelakunya.
Perlu dipahami bahwa dalam seni pertunjukan reyog terdapat dua jenis: pertama, versi festival yang mengikuti pakem tradisional secara lengkap; kedua, versi edrek atau obyok yang lebih sederhana dan sering ditampilkan di tingkat rakyat. Dalam versi edrek, pertunjukan biasanya hanya melibatkan barongan, ganongan, dan jathil—dengan jathil kerap tampil tanpa kuda sebagaimana versi pakem. Dan, insiden yang menjadi sorotan terjadi dalam saat pertunjukan reyog edrek.
Insiden tersebut terjadi ketika penari jathil mendekat ke penonton saat menari, dan tiba-tiba seorang penonton menepuk bagian tubuh penari secara tidak pantas. Tindakan ini memicu kemarahan sang penari hingga berujung pelaporan ke pihak berwajib, meskipun pada akhirnya diselesaikan secara damai. Pelaku mengaku berada di bawah pengaruh alkohol sehingga tindakannya tidak sepenuhnya disadari.
Kejadian serupa ternyata bukan hal baru. Dalam beberapa pertunjukan reyog edrek di berbagai daerah, adegan-adegan bernuansa pelecehan kerap dimasukkan ke dalam pementasan seolah bagian dari drama. Misalnya, setelah menari, pemain barongan atau ganongan mendekati penari jathil dan melakukan gerakan yang meniru mencium atau bahkan mengangkat penari tersebut. Aksi ini dianggap sebagai penyemangat sebelum melanjutkan pertunjukan. Ironisnya, tindakan seperti ini sering dianggap wajar selama dilakukan oleh sesama pemain reyog, berbeda halnya jika dilakukan oleh penonton yang bisa berujung kontroversi.
Namun, tetap saja, bagi banyak orang yang memiliki standar moral yang baik, adegan semacam ini dapat terasa mengganggu. Sayangnya, sejumlah warganet justru membela pelaku, menganggap tindakan tersebut lumrah dan menyalahkan penari jathil karena dianggap bereaksi secara berlebihan.
Fenomena ini membelah opini publik menjadi dua kubu: satu mendukung penari jathil sebagai korban pelecehan, dan yang lain menilai bahwa tindakan penonton tersebut wajar dan reaksi penari terlalu keras.
Jika persoalan ini tidak ditangani secara serius oleh pihak terkait, dikhawatirkan akan merusak citra reyog sebagai seni budaya luhur. Bahkan bisa mengurangi minat generasi muda, terutama perempuan, untuk mempelajari seni ini karena kekhawatiran akan menjadi objek pelecehan. Beberapa orang tua mungkin akan melarang anak perempuannya menjadi penari jathil karena takut akan risiko tersebut.
Melihat berbagai komentar netizen, sangat disayangkan bahwa sebagian besar dari mereka justru membela pelaku, menyudutkan penari jathil, hingga mengajak memboikotnya. Situasi ini mencerminkan adanya degradasi nilai moral dalam menyikapi insiden semacam ini.
Post a Comment