Selamat Datang di Malas Nulis

Refleksi 27 Tahun Jatuhnya Soeharto

Refleksi 27 tahun jatuhnya Soeharto.


Genap 27 tahun Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Rezim yang ia bangun selama puluhan tahun—dengan kekerasan, penindasan, dan kontrol ketat—akhirnya runtuh setelah dihantam krisis ekonomi pada 1997. Saya masih mengingat suasana kacau saat itu, yang diawali dengan gelombang kerusuhan yang mengoyak fondasi bangsa.

Kerusuhan yang terjadi sebelum kejatuhan Soeharto tidak hanya disebabkan oleh kondisi ekonomi, tetapi juga oleh ketegangan sosial dan sektarian. Antara 1995 hingga 1997, menjadi pemeluk agama minoritas adalah sesuatu yang sangat berisiko. Banyak rumah ibadah dibakar dalam gelombang kekerasan yang terlihat seperti terorganisir. Di wilayah mayoritas Muslim, gereja-gereja menjadi sasaran. Sebaliknya, di daerah yang mayoritas Kristen, masjid pun tak luput dari serangan. Data menunjukkan bahwa lebih dari 900 rumah ibadah dibakar hanya dalam kurun dua tahun—sebagian besar adalah gereja.

Banyak analis dan akademisi meyakini bahwa kerusuhan-kerusuhan ini bukanlah peristiwa spontan. Ada indikasi kuat bahwa konflik ini diorkestrasi oleh pihak-pihak dalam militer, yang saat itu terpecah antara faksi “ABRI merah putih” dan “ABRI hijau.” Mereka saling bersaing untuk mendekatkan diri kepada kekuasaan Soeharto, dengan taktik adu domba di lapangan.

Kemudian datang krisis moneter 1997 yang memicu “kerusuhan pangan.” Masyarakat kecil yang kelaparan menyerbu toko-toko, yang sebagian besar dimiliki warga keturunan Tionghoa. Sentimen anti-Tionghoa yang telah lama dipelihara semakin membara. Rezim Orde Baru memang secara sengaja menempatkan warga Tionghoa hanya di sektor ekonomi, menjadikan mereka sasaran empuk ketika krisis datang.

Pada akhirnya, semua ini meledak menjadi tragedi kemanusiaan pada Mei 1998. Kerusuhan disertai pembunuhan, pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa, dan pembakaran properti terjadi secara terbuka, disaksikan dunia. Berbeda dengan pembantaian 1965 yang terjadi dalam senyap, kekejaman 1998 terekam dan tersebar luas. Namun, hingga kini, tidak ada keadilan. Tak satu pun aktor di balik kekerasan itu yang diadili.

21 Mei 1998 bukan hanya soal lengsernya Soeharto. Ini adalah titik puncak dari akumulasi konflik, penindasan politik, penculikan aktivis, dan kebrutalan militer. Sayangnya, warisan kekuasaan Orde Baru tidak benar-benar musnah.

Lalu, apa hasil Reformasi? Kita memang memiliki pemilu, partai politik, dan presiden yang dipilih rakyat. Namun praktik kekuasaan tetap dikendalikan oleh elit yang sama. Militer tidak lagi duduk di DPR, tetapi pengaruhnya tetap merasuk ke berbagai lini. Polisi bahkan menjadi kekuatan politik baru. DPR tetap lemah, hukum mudah dibeli, dan korupsi semakin merajalela. Pemerintah daerah kehilangan otonomi, dan kekuasaan kembali tersentralisasi ke Jakarta.

Secara ekonomi, kita masih bergantung pada eksploitasi sumber daya alam. Industri manufaktur stagnan, tidak mampu menopang pertumbuhan jangka panjang. Pendidikan pun menghadapi tantangan besar: skor PISA rendah, dan angka NEET (anak muda yang tidak sekolah, tidak bekerja, dan tidak pelatihan) mencapai lebih dari 21%. Ini adalah cerminan buruk dari sistem yang gagal memberdayakan generasi muda.

Kini, kita menyaksikan sistem yang semakin memperkaya mereka yang sudah kaya. Akses pendidikan tinggi makin mahal, hanya bisa dijangkau kalangan berada. Kampus menjadi ruang eksklusif, dan para akademisi didorong bekerja keras tanpa imbalan memadai. Neo-liberalisasi merampas harapan rakyat biasa, mengubah institusi pendidikan menjadi alat produksi elit baru.

Reformasi yang kita alami bukan revolusi rakyat, melainkan revolusi oligarki. Sebuah pergeseran kekuasaan dari satu elit ke elit lainnya. Mereka yang kini berkuasa adalah para konglomerat yang membeli kekuasaan dengan harta. Bahkan pemimpin dari kalangan rakyat pun tak lepas dari cengkeraman para oligarkh yang mendukungnya.

Apakah ada harapan? Sulit untuk optimis. Terutama ketika para mantan aktivis dan revolusioner kini justru menjadi bagian dari sistem yang dulu mereka lawan. Reformasi telah diseret menjadi alat para elit, bukan harapan rakyat.

Disalin dan disesuaikan dari akun sosial media Made Supriatma