Muballigh Berebut Panggung, Demi Amplop?
Semakin lama, permasalahan dalam kehidupan beragama semakin kompleks. Isu-isu lama tetap ada dan terasa sulit untuk diselesaikan, bahkan tampak mustahil. Padahal, seperti yang umum diketahui, perbedaan adalah karunia. Sayangnya, perbedaan—yang seharusnya menjadi rahmat—justru sering tidak disikapi dengan bijak. Alih-alih menjadi ruang untuk saling belajar, beragama kini tampak seperti arena kompetisi untuk saling menyalahkan. Dengan merasa paling benar dalam memahami dan mengamalkan Islam, para pendakwah kerap menunjukkan sikap rivalitas, yang kemudian diperkuat secara militan oleh para pengikutnya.
Kiai, ustadz, muballigh, atau dai bagi sekelompok jamaah bisa menjadi figur yang memiliki peran dan pengaruh kuat. Peran ini terbentuk melalui kombinasi pembinaan intelektual dan karisma, yang bisa muncul secara dominan satu sisi atau keduanya. Para tokoh ini memainkan peran penting dalam praktik keberagamaan jamaahnya. Namun, perbedaan pandangan di antara mereka tidak jarang memicu gesekan antarjamaah, yang pada akhirnya menciptakan rivalitas. Akar persoalan umumnya bersumber dari klaim otentisitas, baik dalam hal pemahaman ajaran maupun asal-usul (nasab).
Sayangnya, perbedaan yang seharusnya menjadi bagian dari rahmat Allah justru sering disalahartikan. Muncul klaim-klaim tidak berdasar, bahkan fitnah, yang kerap bermula dari perebutan pengaruh berbasis ideologi, maupun dalam beberapa kasus—mudah-mudahan ini hanya prasangka buruk—karena motif material seperti honor ceramah atau “amplop.”
Perebutan ideologi sering disebabkan oleh perbedaan tafsir terhadap nash (Al-Qur'an dan hadits), yang berujung pada praktik keagamaan yang berbeda. Para daipun membela praktiknya masing-masing dengan dalil yang diyakini kuat, sehingga muncul klaim-klaim kebenaran tunggal. Dalam perkara ini, tradisi sosial bisa bersifat memecah-belah; ketidaksepakatan akan melahirkan bentuk praktik baru. Misalnya, jika ustadz A tidak sepakat dengan kebiasaan wirid ustadz B, ia bisa membangun rutinitas lain seperti kajian keislaman. Keduanya berdasarkan dalil, namun jalan yang ditempuh berbeda.
Ahmad Rafiq, dalam tulisannya menjelaskan bahwa pemahaman terhadap nash terbentuk melalui dua proses: transmisi (penyampaian dari guru ke murid melalui sanad) dan transformasi (pengaruh pengalaman hidup dalam menafsirkan ulang isi nash). Karena latar belakang dan pengalaman setiap individu berbeda, mestinya bisa dianggap wajar jika muncul perbedaan interpretasi.
Dalam hal ini, perlu diingat kaidah: la yunkaru al-mukhtalaf fih wa innama yunkaru al-mujma’ ‘alaih—perbedaan yang masih memiliki dasar dalil tidak boleh disalahkan, yang harus ditolak adalah hal-hal yang sudah disepakati sebagai kesalahan. Namun realitanya, perbedaan justru sering memunculkan kotak-kotak kelompok yang saling mencibir dan memberi label negatif, seperti “jamaah nyeleneh,” “klaimer otentik,” hingga “pendakwah cinta-cintaan.”
Sikap saling menstereotip inilah yang memperdalam jurang perpecahan antar kelompok. Padahal, esensi agama seharusnya lebih diutamakan daripada sekadar klaim otentisitas, karena rivalitas seringkali membawa pengaruh negatif—baik yang disadari maupun tidak.
Adapun terkait “amplop,” semoga itu hanyalah dugaan buruk belaka. Karena sejatinya, dakwah adalah bentuk ibadah yang murni diniatkan untuk mengharap ridha Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: ballighu ‘anni walaw ayah (sampaikan dariku walau satu ayat).
Join the conversation