-->

Kendi, Sumur dan Tradisi yang Kehilangan Ruh



Dalam rentang waktu yang panjang, hingga dekade 1980-an, masyarakat Jawa memiliki kebiasaan yang nyaris tak tergoyahkan: meminum air langsung dari kendi yang berisi air sumur yang belum dimasak, belum disaring, diminum begitu saja tanpa rasa cemas. Ada keyakinan yang begitu dalam bahwa sumur adalah anugerah kehidupan, tempat air memancar sebagai berkah dari alam—atau lebih tepatnya, dari Tuhan.

Ada kesegaran tersendiri yang hanya bisa ditawarkan oleh air kendi. Ia hadir begitu sederhana—di atas meja makan, di pojok ruang tamu, atau di ujung halaman rumah, terkadang di pinggir jalan, menanti musafir yang kehausan. Kendi itu tak mengenal pagar, tak mengenal harga. Ia tersedia untuk siapa saja, tanpa pamrih, sebagaimana lazimnya nilai kebersamaan dan gotong royong yang mengakar dalam masyarakat.

Tradisi itu tak sekadar tentang air. Ia adalah tentang cara hidup. Tentang norma-norma tak tertulis yang diwariskan dan dijaga. Menjual air kendi seakan mencemari kemurnian nilai: bahwa air adalah hak semua makhluk hidup, bukan komoditas. Air kendi, seperti sumur, adalah bagian dari ekosistem sosial yang saling menopang.

Bagi sebagian orang, tak ada yang bisa menandingi kesegaran air kendi. Bahkan air dalam kemasan, yang diproses dengan teknologi modern, terasa kehilangan sesuatu yang tak bisa dijelaskan: rasa, atau mungkin, ruh.

Cara meminumnya pun khas: kendi diangkat tinggi, air dituang langsung ke mulut tanpa menyentuh bibir kendi. Sebuah gestur yang mungkin tampak aneh di mata luar, tapi justru menyimpan nilai—baik dari sisi higienitas maupun keindahan tradisi. Bahkan secara ilmiah, cara ini dianggap memberi oksigen pada air, menambah vitalitasnya.

Namun zaman bergerak. Kekhawatiran mulai merayap di tahun 1980-an. Air sumur mulai diragukan kebersihannya. Tradisi yang dulu diterima sebagai kewajaran kini dipandang dengan curiga. Sumur dan kendi perlahan tergantikan oleh galon dan botol plastik. Kebersamaan berganti dengan privatisasi. Air pun kehilangan sakralitasnya, menjadi sekadar komoditas dalam ekonomi rumah tangga.

Kini, kendi dan sumur tak lebih dari simbol usang—kadang muncul sebagai dekorasi dalam pesta pernikahan atau ritual kematian. Tapi maknanya telah menguap. Yang tersisa hanyalah bentuk, tanpa jiwa.

Apa yang dulu hidup kini membisu. Tradisi mengering, seperti sumur-sumur yang tertutup dan tak lagi dijamah. Kita kehilangan sesuatu, mungkin bukan sekadar air yang segar, tapi juga rasa percaya, keakraban, dan kearifan lokal yang dulu menuntun kita dalam kesederhanaan yang bermakna.

Apakah semua ini akan tinggal menjadi kenangan? Ataukah kita masih bisa memetik kembali hikmah yang pernah begitu dekat, namun kini terasa jauh?

Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART