Selamat Datang di Malas Nulis

Kecerdasan yang Membodohkan

Tapi ketika segalanya menjadi terlalu mudah, mungkin itu saatnya kita belajar kembali untuk mengandalkan kemampuan diri


Sebuah laporan terbaru dari The Economist mengenai penggunaan fitur Deep Research dari OpenAI disambut antusias oleh para peneliti. Namun laporan itu ditutup dengan catatan penting: “Mungkin suatu saat nanti, OpenAI akan mampu menyelesaikan kendala teknis dan menghasilkan gagasan-gagasan brilian. Tapi jangan berharap ia segera bisa menggantikan peran asisten riset. Dan yang terpenting, jangan sampai membuat kita kehilangan kecerdasan sendiri.”

Kemajuan teknologi memang membawa kemudahan luar biasa. Tapi di balik itu, ada konsekuensi diam-diam: kita mulai kehilangan kemampuan-kemampuan dasar yang dulu menjadi bagian dari keseharian manusia.

Perhitungan sederhana kini menggunakan kalkulator. Bahkan penjumlahan yang mudah pun jarang kita kerjakan sendiri. Lama-lama, otak pun jadi malas, keterampilan berhitung memudar.

Dulu kita terbiasa mengingat nomor telepon—rumah, kantor, teman, kekasih. Kini? Mungkin satu pun tak ada yang kita hafal. Ponsel sudah mengambil alih peran ingatan kita. Buku catatan nomor sudah lama ditinggalkan.

Kemudian hadir GPS. Kita tak lagi merasa perlu memahami arah mata angin, membaca peta, atau mengenali nama jalan. Kita hanya mengikuti arah panah di layar. Nasihat lama seperti “malu bertanya sesat di jalan” terasa usang.

Sekarang muncul AI generatif, menambah daftar alat bantu yang membuat otak kita semakin pasif. Tak perlu membaca buku untuk bisa membuat ringkasan. Tak perlu repot merangkai kata; AI bisa menyusunnya dengan baik—dan akan semakin mahir.

Masalahnya, ini membuat kita merasa makin cerdas, padahal kenyataannya kita makin jarang melatih kemampuan berpikir, mengingat, dan menyusun gagasan. Kecakapan dasar manusia perlahan menghilang. Kita tak lagi terbiasa berpikir dalam-dalam. Padahal berpikir memang melelahkan, dan itu sebabnya kita sering menghindarinya.

Teknologi tentu sangat membantu. Tapi bila kita tak waspada, bantuan itu bisa berubah menjadi ketergantungan. Ketergantungan mendorong kemalasan, dan dari situlah kebodohan bisa tumbuh. Seperti otot yang melemah karena jarang dipakai, daya ingat kita pun bisa tumpul bila tak pernah dilatih.

Kemudahan yang diberikan teknologi memang luar biasa. Tapi ketika segalanya menjadi terlalu mudah, mungkin itu saatnya kita belajar kembali untuk mengandalkan kemampuan diri. Bukan untuk menolak teknologi, tapi untuk memastikan kita tetap utuh sebagai manusia.