Selamat Datang di Malas Nulis

Kebijakan Ngawur Gubernur Jawa Barat: Mengirim Anak ke Barak Militer

 




Soal kebijakan Dedi Mulyadi mengirim anak nakal ke barak militer perlu dikaji ulang dan mendalam. Apakah ini kebijakan yang tepat atau ini hanya kebijakan populis dan hanya untuk mendulang popularitas untuk kemungkinan even politik babak berikutnya. Saya tidak berani menyimpulkan. Akan tetapi mengamati berita yang berkembang bisa disimpulkan jika tujuannya adalah agar anak-anak nakal tersebut bisa lebih disiplin.



Tapi begini, Kompas.com pada tanggal 7 Maret 2024 pukul 18:29 WIB menerbitkan sebuah berita yang berjudul: "Prajurit TNI Serang Polres Jayawijaya, KSAD Maruli: Emosi Sesaat Anak Muda"(Baca beritanya disini: Kompas). dari judul berita ini sudah bisa dirasakan jika TNI pun menghadapi masalah serupa dengan anak-anak muda yang bergabung di dalamnya—sama saja seperti remaja lainnya.

Dedi Mulyadi bilang, kalau anak-anak nakal dan terlibat tawuran itu berbahaya, apalagi kalau sampai melakukan kekerasan yang mengancam nyawa.

Tapi, kita lihat dari berita tersebut prajurit-prajurit yang oleh Kepala Staf Angkatan Darat disebut sebagai “anak muda”—mereka bersenjata lengkap! Seberapa berbahaya mereka? Mereka memegang senapan serbu yang bisa menembakkan belasan peluru per detik tanpa henti.

Kebijakan Gubernur Jawa Barat yang mengirim anak-anak ‘nakal’ ke barak militer adalah keputusan yang ngawur. Anehnya, banyak politisi dan pengikut kekuasaan justru mendukung langkah ini tanpa berpikir panjang.

Ini bentuk kemalasan para pejabat yang lebih mengutamakan pencitraan daripada benar-benar memikirkan dampak psikologis dan sosial pada anak-anak tersebut.

Lalu, kenapa anak-anak ini disebut nakal? Karena bolos sekolah? Kalau itu masalahnya, pertanyaannya: apa yang mereka dapatkan di sekolah? Apakah mereka diajak berpikir? Apakah guru-guru di sana menginspirasi mereka untuk berpikir kritis dan menikmati proses belajar?

Atau karena mereka kebut-kebutan di jalan? Tapi kemana lagi mereka harus menyalurkan semangat dan energinya kalau taman bermain dan lapangan olahraga dirampas untuk jadi pusat perbelanjaan dan perumahan?

Nakal karena mabuk atau coba-coba narkoba? Itu semua gejala dari rusaknya sistem sosial kita. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang sehat secara emosional dan fisik tidak akan dengan mudah jatuh ke kecanduan. Mereka mungkin akan bereksperimen, dan itu pun wajar di usia muda. Kalau kamu tidak pernah mengalami masa ‘liar’ saat remaja, kamu justru patut bertanya-tanya.

Atau mereka dianggap nakal karena sulit diatur? Ini soal cara pandang. Tentu saja hidup butuh aturan dan disiplin, tapi aturan itu tak pernah berlaku adil untuk semua. Gubernur bisa lewat jalan pakai pengawalan, sementara masyarakat harus terjebak macet dan boros bahan bakar karena hal itu.

Kenapa masyarakat kecil yang harus tunduk pada aturan, sedangkan penguasa bisa seenaknya?

Dan jangan lupa, militer pun bukan institusi tanpa cela. Baru-baru ini, saat mereka hendak memusnahkan amunisi usang, justru terjadi ledakan yang menewaskan 13 orang—termasuk perwira, prajurit, dan warga sipil.

Anak-anak kita butuh pendampingan, bukan pelatihan militer. Mereka perlu konselor dan terapis, bukan barak tentara. Disiplin yang katanya akan diajarkan di sana nyatanya tidak menjamin apa-apa. Lihat saja kejadian-kejadian yang terus terulang.

Mungkin sang gubernur ini memang piawai dalam membangun citra dan mengemas konten untuk media sosial. Tapi itu tidak berarti semua kebijakan yang ia buat cemerlang. Sayangnya, publik kita memang gemar disuguhi drama politik  murahseperti ini.


***