Resume Materi Pasca Ngopi: Kampus Memang Tidak Mengajarkan Cara Bertahan Hidup
Bermula dari Ngopi
Seperti banyak pengangguran lainnya, kami menghabiskan waktu bukan dengan memancing atau berkebun, apalagi ke kantor, kami menghabiskan waktu dengan ngopi. Ya, ngopi. Duduk selama mungkin di warung kopi murah meriah sambil membunuh waktu dan menghidupkan obrolan ngalor-ngidul yang hampir tidak berguna sama sekali, yang penting kami bisa tertawa, minimal tersenyum nyengir. Rasan-rasan tentang hidup yang mandek, harapan yang tak menentu, dan tentu saja—pengalaman kami di kampus yang katanya "terbaik" sekaligus satu-satnya kampus negeri sekaresidenan.
Salah satu topik yang "mak clebung" kami bicarakan waktu itu adalah cerita dari seorang dosen kami dulu. Dosen ini, seperti banyak dosen lainnya, gemar sekali bercerita tentang betapa kerasnya hidup yang ia lalui di masa muda. Tentang bagaimana ia harus kuliah sambil bekerja, jualan gorengan, jadi buruh, dan sebagainya. Cerita yang seharusnya menjadi inspirasi, tapi malah terasa seperti sindiran yang dibalut nostalgia. Anehnya, si dosen sangat tidak toleran terhadap mahasiswa yang telat masuk kelas karena alasan bekerja. Padahal, bukankah dia pernah berada di posisi itu? Kalau benar ia pernah hidup susah, kenapa begitu gampang menghakimi orang lain yang sedang berjuang?
Dari obrolan sederhana itu, kami tertawa sedih (hallah. koyo pedulia ae...). Ada ironi besar yang menggelitik: kampus mengajarkan banyak hal, tapi lupa mengajarkan kehidupan itu sendiri.
Kampus Tidak Mengajarkan Bekerja dan Mandiri
Selama ini, banyak orang percaya bahwa pendidikan tinggi adalah jalan menuju masa depan yang lebih cerah. Bahwa menjadi sarjana otomatis akan membuka pintu karier yang mapan. Sayangnya, realitas tidak seindah brosur kampus atau iklan beasiswa di televisi. Setelah lulus, ribuan sarjana bersaing dalam lapangan kerja yang sempit, berebut posisi yang sedikit, dan pada akhirnya banyak dari mereka yang menganggur—bukan karena bodoh, tapi karena tidak siap menghadapi kenyataan.
Masalah utamanya bukan sekadar karena lapangan pekerjaan yang sempit. Masalahnya, sebagian besar kampus tidak pernah secara serius membekali mahasiswanya dengan keterampilan dasar yang relevan dengan kebutuhan hidup di luar sana. Mahasiswa dijejali teori, tugas makalah, dan presentasi PowerPoint, tapi jarang sekali diajak memikirkan bagaimana cara bertahan hidup di luar kampus. Apa itu keterampilan dasar? Bukan hanya soal cara mengajar di kelas, menyusun RPP dan silabus, menghukumi perilaku orang, atau bisnis keislaman (eh...!!). Tapi kemampuan berkomunikasi, mengelola keuangan pribadi, merancang usaha kecil, menjual jasa, hingga kemampuan membaca peluang di tengah keterbatasan.
Lucunya, banyak mahasiswa terlalu sibuk mengejar IPK tinggi karena sistem kampus memang hanya mengukur "kecerdasan" dari angka. Tidak ada ruang untuk gagal, apalagi untuk mencoba hal-hal di luar kurikulum. Mahasiswa yang berjualan dianggap kurang fokus. Mahasiswa yang aktif di luar malah dianggap “nggak serius kuliah”. Padahal, dunia nyata justru menuntut keberanian untuk mencoba dan gagal berkali-kali.
Apa kampus tidak tahu akan hal ini? Atau memang kampus tidak peduli?
Mentalitas "Asal Lulus" dan Budaya Akademik yang Kering
Dalam banyak kasus, kampus terlalu sibuk mengejar akreditasi dan pencitraan. Selama mahasiswa lulus, indeks prestasi kolektif baik, dan laporan terstruktur rapi, semuanya dianggap beres. Tidak penting apakah mahasiswa itu siap kerja atau tidak, bisa hidup mandiri atau malah jadi beban keluarga setelah wisuda. Selama angka-angka di laporan terlihat bagus, maka semuanya dinyatakan sukses. Kampus menjadi pabrik ijazah, bukan ruang pembelajaran hidup.
Apa susahnya menyediakan mata kuliah atau workshop tentang cara bertahan hidup di masa transisi? Tentang bagaimana menghadapi dunia kerja, memulai bisnis kecil, atau bahkan—yang sederhana saja—mengelola waktu dan emosi di tengah ketidakpastian, minimal workshop cara mendaftarkan diri jadi PNS-lah. Masa iya Sarjana masih kesulitan melakukan hal sesederhana mendaftarkan diri jadi PNS? Kampus bisa, jika mau. Tapi sayangnya, banyak yang memilih untuk tidak peduli.
Mungkin benar, selama ini mahasiswa hanya dianggap "produk akademik" semata, bukan manusia yang harus menghadapi kerasnya hidup setelah toga dilipat dan ijazah dikasih map.
Akhirnya, Kami Tetap Bisa Tertawa
Obrolan kami di warung kopi waktu itu berakhir dengan tawa. Tapi bukan tawa bahagia. Tawa yang getir. Tawa yang muncul dari rasa sok peduli dengan para sarjana nganggur yang skilnya terbatas. Kami sadar, kami tak sepenuhnya salah. Kami juga tidak sepenuhnya benar. Tapi satu hal yang pasti: kampus memang tidak pernah benar-benar mengajarkan kami cara hidup.
Jadi, kepada para mahasiswa yang masih kuliah:
Kejarlah IPKmu sebagus mungkin. Tapi jangan lupa belajar hal lain. Apapun. Mulai dari jualan, bikin konten, desain, servis motor, sampai jadi MC acara kampung. Sebab saat ijazah tak cukup menghidupi, keterampilan kecilmu bisa jadi penyelamat. Karena IPKmu, belum tentu bisa menghidupimu.
Dan kepada kampus-kampus di luar sana: selamat mengejar akreditasi. Semoga nilai-nilai itu bisa membayar tagihan listrik mahasiswa setelah lulus nanti.
Post a Comment