Selamat Datang di Malas Nulis

Hidup Minimalis: Tetap Merasa Santai Saat Dompet Tipis

Hidup minimalis bukan semata-mata karena tidak memiliki, tapi itu adalah jalan hidup



Di zaman sekarang—ketika ponsel punya harga setara sepeda motor dan kopi bisa lebih mahal dari makan siang—muncul sebuah tren ajaib yang bikin banyak orang geleng-geleng kepala: hidup sederhana alias minimalisme. Di tengah dunia yang penuh dengan diskon menggoda dan notifikasi belanja online yang lebih rajin dari marketing pinjol, ada sekelompok orang yang justru bilang, “Sudahlah, kita tak butuh semua itu.”

Lho, ini bukan karena dompet sedang isinya uang recehan, catatan hutang dan struk belanja. Ini serius: gaya hidup minimalis adalah bentuk perlawanan terhadap sindrom “aku belanja maka aku ada.” Daripada tenggelam dalam tumpukan barang yang entah kenapa kita beli, para penganut minimalisme memilih hanya menyimpan yang benar-benar perlu—seperti tiga pasang baju favorit dan... ya, itu saja.

Tingkat Kesuksesan: Bukan Cuma Soal Kemewahan yang Bisa Dipamerkan

Bruce Elkin, seorang ahli dalam bidang pengembangan diri dan how to be a happy human being, menyebut bahwa kesuksesan itu punya dua level. Yang satu bikin kamu terlihat keren di Instagram, dan yang satu lagi bikin kamu damai meski sinyal Wi-Fi hilang.

1. Level Satu: Kesuksesan Material

Ini adalah level “aku belanja, maka aku bahagia (sementara).” Di sini, hidup diukur dari seberapa mewah barang-barang yang kamu miliki dan seberapa sering kamu update story belanjaanmu. Sayangnya, kepuasan di sini cuma seperti mie instan—cepat, gurih, tapi cepat hilang dan bikin haus (secara emosional).

Contohnya? Shopaholic sejati yang bangga bilang, “Aku cuma lihat-lihat, tapi tiba-tiba checkout.” Bahagia saat paket datang, lalu gelisah lagi saat lihat dompet kempes dan lemari yang sudah tak punya ruang untuk napas.

2. Level Dua: Kesuksesan Batin dan Spiritual

Nah, di sinilah para minimalist warrior bersinar. Mereka menemukan bahwa kebahagiaan tidak harus dibayar pakai kartu kredit. Cukup dengan secangkir teh, waktu bareng keluarga, dan ruang kosong di rumah yang tidak dipenuhi tumpukan kardus bekas belanja online.

Mereka percaya bahwa ketenangan batin itu lebih berharga daripada diskon 90% yang ternyata tetap saja menguras saldo.

Ketika Miliarder Justru Lebih "Irit" dari Kita

Anehnya, para miliarder dunia justru banyak yang menganut gaya hidup sederhana. Contohnya si bos media sosial, Mark Zuckerberg. Dengan uang yang bisa membeli pulau pribadi, dia malah memilih pakai kaos abu-abu yang sama setiap hari. Katanya sih, “Biar otak saya nggak capek mikirin mau pakai baju apa.” Coba bayangkan, kita yang isi lemari penuh saja masih sering bilang, “Aku nggak punya baju!”

Lalu ada Warren Buffett, konglomerat yang memilih tinggal di rumah tua yang sudah dibelinya sejak zaman dinosaurus hampir punah. Saat orang lain beli mobil sport buat pamer di lampu merah, beliau malah lebih senang sarapan roti dan baca koran.

Telah Dicontohkan oleh Nabi Muhammad

Tapi, jauh sebelum istilah “minimalisme” jadi tren di YouTube dan Instagram, berabad-abad yang lalu Rasulullah Muhammad SAW. sudah memberikan contoh hidup yang super sederhana. Beliau adalah pemimpin umat, tapi memilih tidur di atas tikar kasar sampai Umar bin Khattab menitikkan air mata. Padahal, kalau mau, beliau bisa saja tidur di kasur mewa dan makan malam dengan menu tujuh benua.

Rasulullah hidup dengan sangat bersahaja. Makan hanya seadanya—kadang cukup kurma dan air. Dan soal kekayaan? Beliau justru memilih membagikannya, karena percaya bahwa kebahagiaan itu lebih terasa saat berbagi, bukan saat menumpuk.

Yang Bisa Dipelajari dari Bahasan Ini

  • Hidup sederhana itu bukan berarti hidup susah. Justru itu tkamu kamu sudah lulus dari godaan promo.
  • Barang sedikit, stres pun ikut berkurang. Tidak perlu drama nyari remote TV selama 2 jam hanya karena rumah terlalu penuh.
  • Ketenangan hati lebih dari sekedar saldo rekening. Karena damai itu tak bisa dibeli di e-commerce, bahkan saat flash sale sekalipun.

Jadi, hidup minimalis bukan berarti hidup membosankan. Itu justru seni menyaring mana yang penting dan mana yang cuma “ikut-ikutan.” Dari Rasulullah hingga miliarder masa kini, mereka membuktikan bahwa punya sedikit bisa membuat kita merasa cukup, bahkan lebih dari cukup.

Saat dunia bilang “Tambah terus,” mungkin hati kita bisa bilang, “Cukup segini saja.” Karena dalam hidup, kadang yang paling membahagiakan bukanlah saat kita menambah, tapi saat kita melepaskan.

Kalau kamu merasa hidup terlalu penuh dan terlalu cepat, mungkin saatnya bukan nambah barang, tapi kurangi beban. Yuk, coba hidup minimalis—dompet senang, hati pun tenang!