ODOL di Ponorogo: Antara Nafkah VS Pemerintah
Di banyak daerah, truk ODOL—Over Dimension Over Load—sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Kendaraan besar bermuatan melebihi batas kapasitas setiap hari melintas di jalan kabupaten dan provinsi. Sebagian orang menuding truk-truk ini sebagai penyebab kerusakan jalan dan ancaman keselamatan pengguna jalan lain. Namun bagi banyak sopir, ODOL bukan sekadar pilihan, melainkan cara bertahan agar dapur tetap mengebul.
Persoalan ODOL tidak muncul tiba-tiba. Ia lahir dari rantai panjang kebutuhan ekonomi dan lemahnya pengawasan. Di Kabupaten Ponorogo, banyak ruas jalan kabupaten dan provinsi telah menjadi korban. Berdasarkan laporan Dinas PUPR setempat, jalur Ponorogo–Ngebel, Ponorogo–Kesugihan via Jenangan, hingga jalan kabupaten di wilayah Sampung dan Sawoo sudah lama mengalami kerusakan parah. Banyak lubang besar yang bukan hanya mempersulit pengendara, tetapi juga memicu kecelakaan lalu lintas.
Pemerintah Kabupaten Ponorogo sebenarnya telah menyatakan sikap tegas. Bupati Sugiri Sancoko secara terbuka menolak aktivitas truk ODOL. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa ODOL tidak hanya merugikan anggaran perbaikan jalan, tetapi juga membahayakan nyawa masyarakat. Namun, penindakan di lapangan tetap belum maksimal. Razia rutin memang dilakukan, tetapi tambang galian yang menjadi asal material kerap luput dari pengawasan serius.
Tambang yang statusnya tidak jelas—legal setengah hati atau sama sekali ilegal—bukan rahasia. Lokasinya mudah ditemukan. Truk pengangkut material hilir mudik setiap hari, tetapi pengawasan sering bersikap selektif. Ada yang ditindak, ada yang seakan-akan tidak pernah terlihat petugas.
Di sisi lain, banyak sopir truk hanya bekerja berdasarkan setoran. Mereka bukan pemilik armada atau pengelola tambang. Jika muatan normal, penghasilan tidak cukup menutup ongkos bahan bakar dan cicilan. Ketika tarif angkutan tidak pernah naik mengikuti beban operasional, muatan lebih menjadi jalan pintas. Bagi mereka, risikonya masih lebih ringan dibanding pulang tanpa membawa uang belanja.
Masyarakat pun tidak sepenuhnya di luar lingkaran masalah ini. Kita ingin harga pasir dan batu tetap murah. Kita menuntut pembangunan jalan mulus. Namun kita juga jarang mempertanyakan dari mana material itu diambil dan apakah cara distribusinya sudah sesuai aturan.
Ketika kerusakan jalan semakin meluas, pemerintah harus menyiapkan anggaran tambahan untuk perbaikan. Di Ponorogo saja, pada 2023, pemkab sudah menganggarkan lebih dari Rp60 miliar hanya untuk tambal sulam sejumlah titik jalan kabupaten. Angka ini belum termasuk biaya pemeliharaan rutin dan cadangan darurat jika kerusakan bertambah. Jika pola yang sama terus terjadi, anggaran perbaikan hanya akan jadi rutinitas tahunan yang tak pernah selesai.
Masalah ODOL bukan hanya soal muatan truk yang melanggar batas. Ia adalah potret tarik-menarik antara kebutuhan nafkah rakyat kecil, kepentingan pemilik modal, dan kewajiban pemerintah menjaga ketertiban. Penegakan hukum di jalan raya tidak akan pernah cukup tanpa pengawasan serius terhadap asal muatan.
Apabila kebijakan Zero ODOL hendak diterapkan sungguh-sungguh, pemerintah perlu memastikan semua pihak menanggung tanggung jawabnya secara adil. Pemilik tambang wajib tertib izin dan retribusi. Tarif angkutan barang harus dikaji ulang supaya sopir tidak terus dipaksa memilih antara patuh aturan atau bertahan hidup.
Ketika kecelakaan dan kerusakan jalan terus terjadi, kita sebetulnya sedang melihat drama lama yang hanya berganti judul. Semua pihak sudah tahu apa yang salah, tetapi tidak semua siap berbenah. Dan entah sampai kapan, kita akan terus pura-pura heran setiap kali lubang di jalan bertambah lebar.
Join the conversation