-->

Review Materi Pasca Ngopi; Ironi Media

 



Di salah satu siaran televisi nasional yang tayang 𝘱𝘳𝘪𝘮𝘦 𝘵𝘪𝘮𝘦 beberapa waktu lalu, wajah seorang perempuan muda muncul membahas kasus pemerkosaan perempuan oleh dokter anestesi di sebuah rumah sakit. Ia diperkenalkan sebagai psikolog. 

Wajahnya tenang, kata-katanya terdengar empatik, dan ia terlihat fasih berbicara di depan kamera. Tapi di balik layar, riak keganjilan mulai menggeliat. 

Beberapa jam setelah tayangan itu beredar di media sosial, warganet menemukan bahwa sang narasumber belum menyelesaikan pendidikan profesi psikolog, apalagi mengantongi izin praktik resmi. 

Warganet bahkan menemukan bukti bahwa yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum lulus program S1 di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Ia hanya dikenal sebagai orang yang mengklaim dirinya sebagai psikolog dengan ratusan ribu pengikut (yang terkecoh?) di Instagram.

Intinya dia belum layak disebut psikolog. Tapi label itu telanjur melekat, lengkap dengan stempel media arus utama. Dan publik—seperti biasa—menelan mentah-mentah.

Inilah kisah klasik dari zaman digital: bagaimana media, yang semestinya menjadi penjaga gerbang kebenaran, kini berubah jadi gerbang tol—semua boleh lewat, asal kelihatan meyakinkan dan tak macet.

Dalam jurnalisme, narasumber adalah seperti kompas bagi pembaca. Lewat narasumber, arah informasi ditentukan, cara pandang dibentuk, dan posisi moral suatu isu diatur. Namun belakangan, kompas yang digunakan media justru kerap melenceng. Bukan karena tidak ada kompas yang benar, tapi karena media—demi kecepatan dan popularitas—memilih menggunakan magnet popularitas alih-alih penunjuk utara kebenaran.

Salah satu ironi terbesar dalam industri media saat ini adalah fenomena "pakar instan". Mereka menjamur di media sosial, membungkus diri dengan kutipan motivasi, desain visual apik, dan cuplikan seminar daring. Tapi saat media memanggil mereka untuk bicara di layar kaca, tak banyak redaksi yang sempat bertanya: siapa dia sebenarnya?

Fenomena podcast memicu wabah para penata kata yang dilabeli julukan pakar, ahli, atau spesialis bidang tertentu tanpa legitimasi akademis. Terjadi inflasi pakar instan.

Mengapa proses verifikasi bisa absen dalam ruang redaksi media arus utama yang semestinya menjunjung tinggi fakta? 

Jawabannya sederhana: kejar tayang. Di era 𝘤𝘭𝘪𝘤𝘬𝘣𝘢𝘪𝘵 dan rating, media seperti dikejar waktu, lupa bahwa jurnalistik bukan perlombaan lari estafet melawan algoritma, melainkan lari maraton menjaga integritas. 

Di bawah tekanan itu, popularitas narasumber sering dianggap lebih penting daripada kapabilitasnya. Selama si narasumber tampil meyakinkan, berbicara runtut, dan punya follower ribuan, maka “siap tayang” sudah cukup sebagai tiket masuk.

Padahal membiarkan orang yang belum sahih secara profesi bicara sebagai otoritas, sama berbahayanya seperti menyerahkan kunci ruang operasi pada mahasiswa kedokteran semester dua. Ia mungkin tahu teori, tapi belum tentu mampu menangani krisis yang sesungguhnya.

Risikonya bukan hanya pada kredibilitas media, tetapi juga pada nasib orang banyak. Ketika seorang yang mengaku psikolog memberikan nasihat di televisi, itu bukan sekadar opini—itu bisa menjadi arah hidup bagi ribuan orang yang menontonnya. Apalagi jika topiknya sensitif, seperti kesehatan mental, kekerasan dalam rumah tangga, atau pengasuhan anak.

Bayangkan seorang ibu muda yang sedang depresi pascamelahirkan. Ia menonton televisi dan mengikuti saran dari seseorang yang ia kira profesional. Padahal yang bicara hanya lulusan sarjana psikologi yang belum menempuh pendidikan profesi. Salah langkah sedikit, bukan cuma kesehatan mental sang ibu yang terancam, tapi juga keselamatan bayinya. 

Di sinilah bahaya mengintai: media mengubah opini personal menjadi pedoman publik—tanpa pagar keamanan profesionalisme.

Lebih luas lagi, kepercayaan publik terhadap media bisa runtuh. Saat satu-dua pakar gadungan terbongkar, publik mulai mempertanyakan semua narasumber yang tampil. 

Maka jadilah media seperti restoran yang sekali menyajikan makanan basi, langsung ditinggalkan pelanggan yang dulunya loyal. Dalam dunia informasi, kesalahan label bukan sekadar salah tik—itu bom waktu yang bisa meledak jadi skeptisisme massal.

Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART