Resume Materi Selepas Ngopi; Santri yang Selalu Salah
Suatu saat, salah seorang guru saya menceritakan masa muda salah seorang kiyai pondok pesantren besar di Indonesia. Konon, kiyai tersebut bisa menjadi pengasuh pondok besar karena ta'dzimnya dan tawadu'nya kepada kiyainya, saking ta'dzimnya jika beliau sowan ke kiyainya beliau jongkok, ndodhok jauh sebelum sampai didepan kiyainya.
Mendengar cerita itu lantas, hampir spontan, saya bertanya:"Kira-kira, berapa persen santri, yang terlahir dari rahim rakyat jelata, yang sangat ta'dhim kepada kiyai dengan cara serupa dan santri tersebut bisa menjadi kiyai?. Bukankah kiyai yang panjenengan maksud juga anak kiyai kharismatik dan pondok yang sekarang diasuhnya adalah pondok yang didirikan abahnya?". Dari pertanyaan tersebut tidak ada jawaban yang semestinya justru saya disuruh memaknai kitab sambil berdiri di depan kelas sebagai bentuk hukuman. Jika anda berpikir ini dendam saya kepada guru tersebut, bukan, bukan seperti itu. Ini bukan dendam, saya sama sekali tidak mempunyai dendam kepada guru-guru saya. Bahkan kepada guru saya yang pernah nyampluk kuping saya hingga berdarah. Tulisan ini hanya sebuah refleksi, siapa tahu bisa membuka ruang diskusi.
Berangkat dari cerita sederhana tersebut terbesit dalam pikiran saya: ada pola yang sudah lama hidup dalam sebagian lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia: santri dianggap selalu salah, dan kiai selalu benar. Bahkan ketika kebenarannya terasa dipaksakan, tetap saja santri diminta untuk diam—karena katanya, "Kamu belum paham." Padahal bisa jadi, yang benar-benar tidak mau dipahami adalah, sang guru.
Tentu kita tidak sedang bicara soal adab yang sewajarnya. Menghormati guru adalah bagian dari akhlak dalam menuntut ilmu. Tapi ketika penghormatan berubah jadi ketundukan total, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: apakah ini masih pendidikan, atau sudah perbudakan intelektual?
Ketika Nalar Dimatikan Demi “Adab”
Dalam banyak konteks, yang disebut “adab” sering kali hanya dalih untuk melanggengkan otoritas. Santri tidak diberi ruang bertanya. Kiai tidak bisa dikritik. Ketika ada kekeliruan, yang disalahkan adalah pemahaman santri, bukan mungkin saja, kesalahan pada sisi guru. Di titik ini, pendidikan menjadi relasi kuasa sepihak.
Padahal dalam tradisi Islam, berpikir kritis dan berdiskusi adalah bagian dari cara mencari kebenaran. Imam Syafi’i sendiri berkata:
“Pendapatku benar, namun bisa saja salah. Pendapat orang lain salah, namun bisa saja benar.”
— Imam Syafi’i
Kutipan ini bukan sekadar ungkapan kerendahan hati. Ia menunjukkan bahwa bahkan ulama besar pun membuka kemungkinan koreksi. Maka jika Imam Syafi’i bisa terbuka pada perbedaan dan kritik, kenapa hari ini ada kiai yang alergi dikritik oleh santrinya sendiri?
Lebih jauh, Al-Ghazali pernah menyatakan:
“Seorang murid harus bertanya kepada gurunya jika ada sesuatu yang tidak ia pahami, dan tidak boleh diam karena takut atau malu.”
— Al-Ghazali
Sayangnya, di banyak tempat, justru santri diajari untuk diam. Bukan karena paham, tapi karena takut. Padahal diam karena takut bukanlah bentuk adab, melainkan kehilangan akal merdeka.
Antara Penghormatan dan Kepatuhan Buta
Budaya ini berbahaya karena menumbuhkan santri yang manut tapi tidak matang. Mereka patuh, tapi kering daya pikir. Mereka menghafal, tapi tidak memahami. Ketika nanti mereka jadi ustaz atau pemimpin, pola yang sama mereka ulangi. Maka lahirlah generasi yang lebih pandai mengikuti daripada mencari.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah menulis:
“Jangan engkau taklid buta kepada siapa pun. Kebenaran itu tidak mengenal siapa yang mengucapkannya. Ia tetap kebenaran, bahkan jika keluar dari lisan anak kecil sekalipun.”
Ini adalah peringatan penting: bahwa kebenaran tidak bergantung pada posisi, gelar, atau usia. Tapi dalam dunia pendidikan kita hari ini, siapa yang berani bilang kiai salah, bisa langsung dianggap sesat. Maka kebenaran pun didefinisikan oleh siapa yang paling tua, paling populer, atau paling banyak santri.
Kembali pada Ruh Pendidikan
Pendidikan seharusnya menjadi ruang tumbuh bersama. Kiai bukan diktator spiritual, melainkan pembimbing jiwa. Santri bukan objek patuh, tapi subjek yang berpikir dan berproses. Jika relasi ini sehat, maka perbedaan pandangan justru memperkaya, bukan dianggap ancaman.
Menghormati guru tidak berarti mematikan nalar. Justru dalam banyak tradisi pesantren, “ngaji bandongan” dan “sorogan” dulunya memberi ruang untuk santri mengajukan pertanyaan. Tapi hari ini, pola itu sering digantikan dengan sistem satu arah yang tertutup.
Sudah saatnya kita berani merawat tradisi dengan cara yang sehat: tetap beradab, tapi tidak menindas akal.
Karena Kiyai yang benar-benar pantas untuk tidak bisa diajak berdiskusi hanyalah Kiyai Slamet

Join the conversation